Stella tiga. Tiba- tiba aku teringat nama jalan ini. Sungguh
nama jalan ini begitu istimewa sampai usiaku beranjak dua puluh delapan.
Bukan soal tempat dimana aku bertemu dengannya. Bukan, bukan
sama sekali. Aku tidak pernah bertemu dengan siapapun disana. Bukan soal
meretas cinta pada pria, tapi merekam cinta pada masa kecil. Masa kecil yang
kurindukan bisa kembali. Dan itu menjadi ingatan sepanjang hayatku.
Stella tiga, tempat kakiku mulai belajar berjalan, awal
mulai hidungku merasakan nikmatnya karunia Tuhan yang kuhembus saat aku lahir
ke dunia. Tempat pertama kali aku merasakan dekapan tangan orang-orang terkasih.
Aku lahir di sini, aku besar di sini, Stella Tiga. Aku
belajar menjadi balita, merasakan semua kebahagiaan masa kanak-kanak, tanpa
negosiasi.
Bermain gundukan pasir di depan rumah, memanjat pohon mangga
kweni dan alpukat, dari sini aku sadar berawal dari situlah hobiku memanjat
gunung.
Bermain di rumah pohon nangka yang dibuatkan Almarhum opung
dari sisa kawat bangunan, dari atas itu aku senang bermain teriak-teriakan
dan tiba-tiba bergelayutan sepeti monyet , dari situlah aku sadar aku senang
sesuatu yang spontan dan tidak bisa diam.
Sore hari, air hujan memandikan rumput-rumput dan tanaman di
jalan Stella tiga persis di depan rumah Opung, tidak lupa hujan juga turut
andil memandikan tanah, pasir dan aspal. Tidak perduli opung yang sudah tua,
harus tertatih menarik tanganku untuk tidak bermain di bawah hujan. Hujan begitu
membuatku tertarik dengan semesta. Akalku bertanya, langit sama cengengnya
denganku, langit suka menangis seperti aku. Dari sana aku tersadar, betapa aku
terlalu cengeng. Menangisi segala sesuatu yang sudah lewat, terkadang berteriak
tanpa suara, hanya desau nafas seperti angin tersapu hujan.
Belum lagi, hobiku yang membuat aku geli tertawa
mengingatnya. Bermain dengan kotoran ayam atau pup ayam yang masih hangat. Karena,
opung mempunyai peliharan ayam dan aku rela masuk ke dalam kandang ayam untuk
mengambil kotorannya, sampai-sampai perutku yang buncit dipatuk ayam jantan peliharan si opung.
Setiap aku menceritakan cerita tentang masa kecilku yang
satu ini, semua orang yang mendengar spontan memandang jijik, dan menutup
mulut, setelah itu tertawa terbahak-bahak. Memilin kotoran ayam seperti mainan
lilin tanpa rasa jijik, salah satu kenangan yang tidak pernah kulupa. Aku
sampai sekarang tersadar betapa kampungannya aku saat itu. Polos, lugu dan ahh
memalukan sekali.
Asal kalian tau, bukan aku tidak punya mainan kelas
menengah, Setiap papa atau opung pulang
dari luar kota, salah satu isi tasnya adalah mainan, ya mainan mobilan atau
buku bergambar. Jangan bertanya kenapa bukan boneka, atau Barbie ya. Tapi semua
mainan itu tidak kusentuh, aku lebih tertarik dengan kotoran ayam ini. Kupilin
menjadi ular, menjadi kepala, menjadi segitiga, bulat kemudian kulempar ke
tembok putih di sebelah garasi rumah opung. Gara-gara hobiku mengotori tembok
garasi, opung harus mengecat minimal sebulan sekali. Dari sini aku tersadar, aku senang membuat
sesuatu tanpa batas, berimajinasi yang terlalu kekanak-kanakan.
Oh iya, ada lagi yang membuatku teringat dengan Stella tiga.
Di antara semak rumput yang rimbun, aku menangkap belalang coklat, lalu kugoreng bersama
teman-teman masa kecil dengan alat memasak mainan. Satu persatu kami mencicipi hasil
buruan belalang kami. Renyah seperti keripik. Dan aku baru ingat, dari sini aku
makan tidak pernah pilah-pilih, makanya bentuk badanku sekarang tidak bisa
dibohongi.
Begitu banyak cerita yang terekam di stella tiga, dan aku
ingin sekali menuntaskan dalam tulisan singkatku ini. Bagiku stella tiga
tidak sekedar sebuah jalan, tapi sebuah mimpi, sebuah keluarga dan sebuah
kehidupan. Ahh aku tidak bisa menunjukan pada kalian (*pembaca.red) betapa aku
ingin kembali pulang ke sana. Ke rumah di sebuah sudut kota medan, berpagar
merah bata dan sampai rumah itu pun dijual, pagar itu tetap mempertahankan
warna merah bata.
Ada lagi cerita tengan kecebong. Kecebong. Iya aku ingat sekali suka menangkap kecebong di selokan
depan rumah opung. Mengurung kodok, di dalam ember bekas cucian mobil.
Sampai-sampai kodok dan kecebong itu melompat ke wajahku, hampir saja aku
dikencinginya.
Dan salah satu kenangan kecilku di stella tiga yang kubawa
sampai sekarang adalah hobiku bercakap-cakap sendiri di atas pohon jambu biji. Aku
senang bercakap-cakap seperti dua, atau tiga orang. Aku menjadi diriku,
sekaligus aku menjadi dua orang lainnya dengan suara berlainan dan bertingkah
sesuai peran yang aku mainkan. Ahh, dari sini aku tersadar dan sangat tersadar,
kenangan kecilku yang satu itu membawaku kepada pekerjaanku sekarang, dan aku
akan melanjutkan kisah ini di tulisan lain.
Dan aku ingat betul, Bou pernah memukulku dengan sapu lidi
bila aku tidak tidur siang karena aku selalu bercakap-cakap sendirian di dalam
kamar, kadang di bawah tempat tidur sambil memainkan pena opungku, sebagai
orang-orangan. Almarhum opung sering kelabakan mencari penanya untuk menulis
atau menandatangani surat rekan kerjanya.
Aku ini aneh. Ya sangat aneh. Bukan satu dua orang yang
menjudge-ku aneh. Mantan kekasihku pun kerap dibuat pusing dengan tingkah
anehku ini. Dia harus banyak bersabar menghadapi kenanehanku. Aku ingat, dia selalu berkata, untuk segera kembali ke bumi, dan
jangan terlalu banyak mengkhayal.
Dari kata-katanya suatu saat akan kubuktikan khayalan masa
kecilku akan membawaku kepada kebahagiaan sejati. Sampai sekarang aku tidak
pernah menyesal menjadi orang aneh. Nafas dari keanehan, dan berjalan dengan
keanehan. Karena aku mencintai setiap cita rasa masa kecilku yang aneh.
Aku tumbuh dari nostalgia
keanehan di stella tiga. Menyendiri, menari di bawah hujan, memanjat pohon,
berguling-gulingan di atas pasir, menangkap kecebong, kodok dan belalang,
bermain kotoran ayam, ahh masih banyak lagi dan aku yang sebenarnya ingin
menulis semuanya di sini, harus menundanya. Aku tidak ingin saat menulis
kenangan itu rasanya menjadi berbeda. Aku ingin tetap menjadi kanak-kanak, aku
ingin tetap seakan ada di stella tiga.
Semoga suatu saat aku bisa mampir ke sana, meski Stella tiga
itu bukan menjadi bagian keluargaku. Tapi sungguh-sungguh kenangan itu tidak
bisa direbut orang lain.
Dan paragraf terakhir tulisanku, aku berjanji akan
melanjutkan cerita Stella Tiga, bersama keluarga dan keanehanku yang lainnya.
Terima kasih Stella Tiga, semoga pemiliknya sekarang menjaga
kenangan kami di sana, meski sekarang hanya menjadi rumah tua, kenangan itu tetap hidup sampai sekarang. :(
Salam,
Catherine Fr
Kenangan akan jalan itu menua, seiring usia kami satu persatu yang semakin tua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar