Rabu, 03 April 2013

Bermimpi bisa terbang

Sekian lama melakukan proyek berdua lagi. Setelah berbulan-bulan cuma jadi rencana. Di sela-sela malam, aku dan sahabat proyek ku menuliskan "kata kami" untaian mimpi-mimpi kami berdua untuk bisa terbang jauh. Begini kira-kira tulisan melalui bbm ;

Bermimpi terbang bersama angin, mengudara tanpa henti. 
Membelah angkasa dan menyentuh langit biru.

Semakin cepat, perlahan-lahan semakin meninggalkan garis-garis bumi. 
Tanah, sungai, laut dan kamu ....
Dan hanya titik yang terlihat dari atas.

Aku mengawang, memejamkan logika lalu membiarkan segala rasa terbang bersama angin.
Rasa yang boleh kemana saja, asalkan tidak menyipitkan relung yang aku percaya sejati.

Hey, mimpi itu bukan musibah-kan ? Dan juga bukan dosa besar-kan ?
Lalu, apa yang kalian tertawakan dari mimpiku ?

Aku mimpi terbang terlalu tinggi, dan sekarang aku takut kembali ke bumi.
Melihat realita yang ternyata melahirkan luka.
Aku sakit, aku berdarah hingga mengeluarkan nanah.
Aku tidak ingin belajar terbang, aku hanya ingin belajar mengerti mimpi.

Jika langit biru bisa menjadi mimpi, kenapa darah yang tumpah tidak bisa jadi mimpi ?
Hey, awan ... kamu bisa berenang di langit. Apa rasanya bisa melihat aku yang hanya sebesar semut ?

Sekarang, aku tak ingin terbang, tapi aku hanya ingin mengapung  berenang bersama awan.
Melihat segalanya yang begitu jauh, tapi benar adanya.
Ulur sayap putihmu, maka aku akan ke sana.
Menggenggam kuat mimpi, dan membawanya ke titik yang menjadi tempat persinggahan terakhirku.

Mimpi diciptakan untuk menjadi kenyataan hidup, dan tak ada logika dalam mimpi.
Yang ada rasa. Asa, sebulir airmata dan sebaris doa.
Dan mimpi itu hanya ada aku, kamu dan mimpi dapat terbang bersama kamu.

Pun awan saja punya jarak, namun bisa saling lihat. Bisa saling rasa.
Begitu juga kita. Jarak membuat kita melihat.
Seperti sepasang bola mata. Tak ada jarak, maka tak bisa saling lihat.
Maka kita butuh jarak, untuk bisa saling lihat kan ?

Ajak aku terbang bersama mimpi-mimpimu sekali lagi. Ulangi dan terus ulangi tanpa henti.
Agar aku tau rasanya bermimpi, agar aku tau rasanya bahagia bersama kamu.

Pejamkan mata, dan biarkan segala rasa mengawang mencambuk seluruh asa.
Bahkan hidup cuma bagian dari  mimpi. 
Dan mimpi cuma menjadi kosakata.
Jadi, kenapa harus takut bermimpi ?

Meski sekejab aku takut berubah menjadi luka.
Kenapa aku harus ada alasan untuk tidak takut bermimpi ?
Aku manusia bumi dan kamu pangeran semesta yang terbuat dari awan.
Rupamu halus dan ciptamu santun, dan kamu terlalu punya banyak mimpi.

Untuk bisa terbang ke sana ulurlah sedikit sayap khayanganmu.
Supaya aku bisa sejajar denganmu, dan kita lewati mimpi itu bersama.
Karena, aku takut cuma bagian dari mimpi kecil.

Takut bukan ketidakpercayaan. Takut satu kata yang bisa meluluh lantahkan mimpi-mimpiku.
Terbanglah, sayap itu sudah kuat dan bisa dibawa kemana saja. Pun menyesap di semak-semak terumbu karang di bawah laut.

Apakah aku sudah terbang terlalu jauh ? Atau aku masih pada batas logikaku ?
Aku takut angin sepoi-sepoi ini melenakan mataku.

Beranilah menantang mimpi ! Karena, mimpi punya pedang untuk membunuhku, dan aku hanya punya tekad.
Mimpi bisa membuat kita bahagia sekaligus bisa membuat kita sakit.
Berlarilah, karena apa yang kamu cari hanyalah ampas bernama serpihan kenyataan dan sebagian besar adalah mimpi.

Jadi, turunkan sedikit sayapmu agar aku bisa menggapai bulu-bulu putihmu. Karena aku kerdil, aku kecil dan aku rapuh.

Terima kasih mimpi, kamu ada untuk membuat tulisan ini menjadi ada. Terima kasih mimpi, karena kamu membuat aku percaya bahwa aku tak sendiri, aku terbang bersama mimpi dan Tuhan.


Salam menulis,

Catherine dan Yohana Paulin


# 3 April 2013 - 21.00