Sabtu, 20 Agustus 2011

Sepotong Sunkiest Kuning

Sekarang sore menuju magrib,
Belum saatnya gelap.
Matahari masih sigap mengukir cahayanya.
Meski beberapa saat lagi akan ada perjanjian dengan langit.

Garis cakrawala merupa, segaris dengan laut.
Pertanda matahari tergusur dan langit malam segera bertugas.
keduanya berjabat tangan, untuk pergantian waktu.

Matahari perlahan-lahan pulang, tenggelam.
Sebelum akhirnya benar-benar menghilang,
Matahari memperagakan rupanya.
Bulat setengah lingkaran, kuning keemasannya memercikan warna di atas tubuh laut,
Indah, sangat memesona. Lembayung menari-nari jua.

Di mukanya kita duduk bersila, saling menyenderkan keluh kesah pada semesta.
“Hufttt, “ desah nafas kita beradu dengan angin sore itu.
Kusenderkan separuh kepalaku di gegap bahumu.
Kucium aroma tubuhmu yang bercampur dengan bau asin air laut.
Tubuh kita yang disorot matahari sore tampak berwarna semu gelap,
Dengan jarak pandang lepas, terlihat matahari sore tersenyum,
membentuk tubuhnya seperti sepotong Sunkist kuning.

Sepotong Sunkist kuning yang memberikan beraneka rasa, seperti kamu…

Ada saatnya manis, seperti matahari pagi,
Kadang pula kecut, saat matahari terik.
Juga terasa asam, ketika matahari sore,
Bahkan terasa pahit, begitu matahari pergi.
Ini analogi kamu, “Sepotong Sunkist Kuning”.

Laut, 27 Juni 2011
Cheers,


Chaterine