Sabtu, 10 Agustus 2013

Aku ingin belajar ...

Aku ingin belajar dari batu. 
Aku ingin belajar dari angin.
Aku ingin belajar dari udara.
Aku ingin belajar dari laut.
Aku ingin belajar dari gunung.
Dan pada akhirnya aku ingin belajar dari musim.

Batu mengajarkan aku untuk kuat. Mau sekeras apa dia terhempas, terlempar bahkan dibuang, batu tidak akan pernah melebur. Tapi ingatlah, batu pun punya hati. Batu bisa terkikis oleh air hujan. Lambat laun, tetesan air hujan menyebabkan pori-pori di tubuhnya, yang membuatnya tak sempurna seperti batu.

Aku ingin belajar seperti batu. Keras, harus kuat meski harus terhempas dan kalah dengan pergumulan. Aku tidak ingin rapuh seperti daun kering, aku ingin kuat seperti batu yang tak pernah hancur. Tapi pada akhirnya, mau seperti apa aku belajar dari batu, aku manusia, kadang luka bisa membuat aku hancur. Airmata membuat aku pun menjadi tidak sempurna.

Angin, mengajarkan aku untuk diam. Angin tak pernah menampakan bagaimana rupanya. Manusia tak pernah tau bagaimana elok rupanya, angin tidak pernah menggagahkan kelembutannya. Kadang jika kita marah pada angin, angin tampak diam, dia hanya memberikan kesejukan, yang membuat amarah kita reda. Tapi, ingatlah angin dapat menjadi tidak sempurna. Angin bisa marah, angin bisa menjadi kasar, dengan sekali hembusan, angin bisa memporak-porandakan seluruh isi bumi.

Aku ingin belajar dari angin. Tanpa suara, aku berkata. Dalam sepi, aku hadir. Menjadikan semua makhluk Tuhan merasa nyaman dengan angin sejuk yang selalu membawa berkat yang tak pernah selesai. Aku ingin seperti angin, tak pernah menggagahkan siapa aku. Pada akhirnya, aku ingin makhluk semesta mengenalku dengan satu nama. Angin. Tapi, aku juga manusia, kadang bisa lupa, kalau aku belajar dari angin. Aku terlena dengan kenyamanan, aku bisa sedahsyat angin, yang meluapkan kemarahan.

Udara, mengajarkan aku untuk ingat pada Tuhan. Udara yang tak nampak, namun selalu mengisi tubuh manusia yang entah berapa banyak oksigen dia berikan secara cuma-cuma. Udara selalu dibutuhkan, meski tak pernah dianggap. Udara selalu menyediakan, untuk aku bernafas, memompa jantungku, dan menjadikan aku dan banyak isi semesta bisa hidup. Dan udara tak pernah pilih kasih, dia siap sedia adanya.

Aku ingin belajar banyak dari udara, yang selalu mengingatkan aku untuk mencari Tuhan. Udara membuat aku bisa bernafas. Menghirup miliaran oksigen, yang membuat aku bisa melihat indahnya dunia. Merasakan manisnya hidup, bahkan mengecap pahitnya luka. Udara mengajarkan aku untuk kembali padaNya, pencipta segala isi semesta. Bagaimana, bila tak ada udara ? Apa aku bisa meneriakan satu nama, Tuhan.

Laut. Aku mencintai laut, sama seperti aku mencintai segala kenangan tentang kamu. Di sana terlalu banyak ukiran namamu dari air ombak. Terlalu banyak pula, lukisan tentang nama aku dan kamu di sana. Sudah selayaknya aku patut belajar pada laut. Dari laut, aku belajar tentang kata tenang. Dari laut, aku belajar untuk menunggu. Kapan riakmu datang, kapan riakmu reda, dan kapan gemuruhmu menghancurkan khayalanku. Ahhh! tak bisa dijabarkan bagaimana aku mencintai laut. Laut, samudera, dan langit, tiga semesta yang membuat aku jatuh cinta setiap hari. Tak ada habisnya, kata-kata ini untuk melukiskan betapa aku mencintai, "LAUT". Terima kasih laut, dirimu mengajarkanku banyak hal tentang menunggu.

Gunung, isi semesta yang selalu menungguku untuk pulang. Gunung tempat aku bisa meneriakkan namamu dari puncaknya. Tanpa suara yang bergemuruh, aku berteriak dalam sepi. Diam dan bisu. Gunung yang selalu mengajakku untuk menari-nari di atas kesakitan. Gunung yang selalu menuangkan banyak cerita, yang membuat aku lupa segala tujuan duniawi. Gunung yang selalu bisa menghapus dahagaku akan makna hidup. Tak perduli, berapa ribuan kali aku melangkah kepuncaknya, aku akan tetap kembali pulang ke peraduanku. Di sana aku bisa dekat dengan satu nama, Tuhan. Setiap jejalan kakiku di sana, ada doa. Ada nama Tuhan yang selalu kusebut puluhan kali. Gunung, guru yang selalu membuat aku belajar untuk berbesar hati dan melapangkan dada. "Di atas air, masih ada tanah, di atas tanah, masih ada bukit, di atas bukit masih ada gunung, di atas gunung masih ada langit. Di atas langit masih ada ruang semu. Entah apa namanya"

Dan kini aku ingin belajar banyak dari musim. Musim yang selalu datang tepat pada waktunya. Menggantikan musim kering, menjadi musim hujan. Menggantikan musim hujan dengan musim semi ahh! dan begitu seterusnya. Tak pernah berhenti untuk berputar. Begitu juga dengan aku, Aku ingin seperti musim, yang mengerti semua akan terjadi pada musimnya, dan segala sesuatunya akan indah pada waktunya.

Banyak sekali yang ingin kupelajari dari isi semesta...

Terima kasih Tuhan, Engkau berikan isi semesta yang menjadi guru terbaik bagiku. 


Salam hangat,



Catherine