Kamis, 24 Januari 2013

Help me, God

Aku ingin diam dalam sepiku. Aku ingin diam dalam tangisku.
Ya Tuhanku, aku merasa kosong. Aku seperti kehilangan arah. Aku seperti kehilangan jalan.
Aku merasa melakukan sesuatu yang tak berarti. Untuk apa sebenarnya aku ditakdirkan untuk hidup dan bernafas. Bantu aku Tuhan untuk kembali menemukan jalanku.

Aku sudah lupa bagaimana caranya berdoa menggunakan hati, aku sudah lupa bagaimana caranya menyegarkan imanku dengan firmanMu. Tuhan aku benar-benar lelah. Aku tak memiliki arah, tujuan dan aku lelah Bapa.

Tolong aku ..... Aku sendiri tidak tau ini karena apa dan seharusnya seperti apa.

Jumat, 18 Januari 2013

Satu stel jas hujan ayah (Part 2)

Kasim masih terpaku di dalam kamar Raina. Raina masih terus memanggil Ayahnya dari luar kamar. Kasim melihat sekeliling isi kamar. Sudah tak beraturan. Dinding triplek yang sudah lapuk, tak kuasa menahan terpaan angin. Perlahan-lahan lapisan triplek mulai terkoyak. Atap seng yang mulai karatan pun tak sanggup menahan derasnya hujan. Selusin plastik bekas untuk menambal bocoran di langit-langit kamarpun sia-sia.

Kasim berjalan pasrah dan lunglai. Disambarnya jas hujan bekas miliknya. Jas hujan ini sudah banyak tambalan, bekas jahitan almarhumah istrinya. Seketika itu pula bayangan Kasim melayang ke 10 tahun yang lalu. Kasim dengan stelan jas hujannya tak kenal rasa lelah berjuang menjadi tukang ojek meski hujan tetap menyirami tubuh kurusnya. Tak hanya itu saja, untuk memenuhi kebutuhan keluarganya Kasim juga mengambil kerja sampingan, menjadi tukang sampah keliling. Setiap subuh, Kasim tak gentar dengan rasa dingin yang kerap menusuk tulang-tulangnya. Kasim giat mengais-ngais sampah di komplek perumahan elit di Ibukota. Mengumpulkan sesuatu yang disebut orang kaya itu sampah, namun bagi Kasim sampah ini adalah penyambung hidupnya bersama keluarga.

Jas hujan merah mengingatkan akan kenangan dirinya bersama Asri, istri tercinta. Kasim ingat betul, awal-awal pernikahannya Kasim juga sering mengantarkan istrinya ke rumah majikan tempat istrinya mencuci-gosok. Dengan jas hujan merah inilah, kenangan Kasim banyak melekat. Entah itu harus kehujanan, kepanasan, jas hujan ini terus setia membalut tubuhnya dan istrinya saat diperlukan.

Sebulir air yang hangat mengalir dari pelupuk matanya. Kali ini bercampur dengan bocoran air hujan. "Terima kasih Gusti, jas hujan ini masih bisa membungkus putri semata wayangku, "jeritnya dalam hati. Kasim pun berjalan keluar kamar. Kasim pun tersentak, melihat putrinya menjerit.

"Ayaaahhh, "jerit Raina ketakutan dari atas meja makan. "Aaayah ituuu, "tunjuk Raina.
"Putri ayah kenapa, "tanya diikuti dengan melihat jemari Raina yang menunjuk ke arah pintu rumah.

Betapa terkejut Kasim melihat air hujan semakin deras masuk ke dalam rumahnya. Baksom-baskom yang tadinya menampung bocoran air hujan harus tergenang, melayang-layang di atas air genangan. Kalau di bukanya pintu rumah, air pasti akan lebih cepat masuk. Air itu cepat masuk ke dalam rumah, karena rumah Kasim memang berada di bawah turunan.

Kasim pun mengambil topi lusuhnya. Dipakaikannya ke Raina. "Putri ayah, pakai jas hujan ini ya nak,"ujar Kasim sambil mematikan listrik. Seketika suasana menjadi gelap gulita.

"Ayahhh, "jeritan Raina semakin kencang.
"Iya nak, ayah di sini, "Kasim menggendong putri kecilnya itu dan membawa keluar melalui jendela dapur di belakang. Kasim mengambil sepeda ontel dan mendudukannya putrinya di boncengan. 

"Nak, Raina dan Ayah malam ini tinggal di rumah nenek yah, " ujarnya sambil mendorong sepeda, melewati tanah berlumpur. Kasim tak perduli bahwa sekarang pun dia tidak memakai alas kaki dan penutup kepala.

Sepanjang jalan, Kasim hanya perduli dua hal. Raina, putri satu-satunya dan jas hujan merah yang sekarang dikenakan Raina. Kasim mendorong sepeda ontelnya semakin kuat menerjang hujan dan angin. Sesekali Kasim harus terpleset, karena tanah yang sangat berlumpur dan merendam kakinya.

"Ayahh ... itu ibu ..."Raina menunjuk ke arah pemakaman darurat istrinya. Satu gundukan tanah. Di atas gundukan itu, tertancap nisan nama Asri Asraina bin Dulloh. Wafat 10 Januari 2007. Lahir 4 Agustus 1978. Setiap hari Raina memang sering bermain seharian di sana, sambil menunggu Kasim pulang kerja. Bahkan tak jarang Raina sering tertidur di samping makam ibunya.

"Iya sayang. Ibu sudah tidur nyenyak di sana, " ujar Kasim. Nafasnya menjadi tak beraturan.
"Ayah, ayo kita ajak ibu ke rumah nenek. Nanti ibu bisa kebasahan. Ibu pasti kedinginan,"Raina menarik-narik lengan Kasim.
"Nak, setelah ayah mengantarkanmu pada nenek. Ayah berjanji akan menjemput ibu".
"Janji ayah ? " kata Raina sambil memberikan jari kelingkingnya.
"Janji nakk, "didekapnya Raina sekuat tenaga.

Kasim masih mendorong sepeda di atas tanah tanjakan yang berlumpur. Sampai di jalan sedikit beraspal, Kasim langsung mengayuh kuat sepedanya dan membawa Raina pergi dari tempat yang selama  ini menjadi kenangan manis bagi Raina. Namun, tak dapat disangkal, kenangan ini akan segera terbawa arus air hujan dan entah kemana akan bermuara. Dan suatu hari saat Raina sudah besar, Raina harus tau, kenangan masa kecilnya telah pergi hanyut saat dirinya berusia 4,5 tahun.

*bersambung

Satu stel Jas Hujan Ayah (Part 1)

Suara hujan pekak menganggu telinga. Sudah seminggu Raina tidak bisa tidur karena hujan sangat deras di luar. Air hujan tak hanya masuk melalui lubang-lubang atap seng saja, tapi mulai menyusup diam-diam masuk ke sela-sela pintu rumah Raina yang terbuat dari sisa-sisa triplek.

Bukan karena suara petir saja yang membuat Raina terganggu, tapi atap rumah Raina yang terbuat dari seng, sontak membuat suara hujan yang jatuh di atap seperti orang memukul-mukul seng membuat Raina sesekali melihat ke atas langit-langit kamarnya. Raina ketakutan kalau atap seng ini akan rubuh menimpa tubuh kurusnya. Belum lagi bocoran atap yang membuat Raina harus bergeser-geser posisi tidur.

Di luar kamar Raina, Kasim sang Ayah tengah sibuk berjaga-jaga kalau-kalau air hujan masuk ke dalam rumah semakin banyak. Sepuluh baskom plastik sudah sedia di tempat masing-masing, siap menampung bocoran air hujan dari atap rumah. Bolak-balik Kasim mengecek garis yang di buatnya di depan pintu, untuk mengukur seberapa air yang sudah masuk. 

5 gelas kopi hitam sudah ia teguk mulai dari pukul delapan malam hingga pukul 3 pagi. Matanya sudah mulai berair menahan kantuk. Tapi diurungkannya, ia terus terjaga dari malam hingga subuh ini. Setiap baskom yang telah penuh air bocoran, Kasim membuangnya ke luar.

"Ayah ... "rengek Raina berjalan ke luar kamarnya.
"Rainaa ..."Kasim kaget melihat Raina basah kuyup. "Putri ayah kenapa bajunya basah ?" tanya ayah sambil menyeka air yang ada di wajah Raina.
Raina menatap wajah ayahnya dan memeluk ayahnya erat. "Ayaahh, Raina takuttt, "ujar bibir Raina sambil mengigil kedinginan.
"Putri ayah jangan takut ya, ayah di sini sayang. Ayoo sekarang putri ayah tukar bajunya, lalu kembali tidur ya, " Kasim memeluk erat putri semata wayangnya dan mencium keningnya, mengelus-elus rambutnya.

Sebulir air jatuh menimpa pipinya yang mulai berkerut. Kali ini bukan air hujan, tapi air mata kegetiran Kasim yang tinggal di rumah seng sepetak di gang sempit Ibu kota. Di ingatnya lima tahun yang lalu, Kasim harus ikhlas melepas kepergian istri yang sangat dicintainya. Ibu dari Raina harus meregang nyawa saat banjir hebat melanda Ibu kota dan lima tahun yang lalu Raina harus lahir prematur, saat rumah yang ditinggalinya sekarang banjir. 

"Ayah, ayah kenapa belum tidur ?" tanya Raina di dalam pelukan Kasim.
"Ayah belum mengantuk sayang". Raina menatap tajam bola mata ayahnya, untuk mempertegas apakah memang ayahnya belum mengantuk.
Untuk mengalihkannya, Kasim hendak mengambil baju ganti Raina. "Putri ayah tunggu di sini ya, ayah akan ambilkan salinan baju yang kering, "

Kasim masuk ke dalam kamar Raina. Sebentar Kasim menahan nafasnya saat menyibakan gorden sebagai pintu kamar. Kasim lekat-lekat memandang sekeliling kondisi kamar Raina, kamar yang pernah ia tempati. Tak ada sehelai tikar pun, sebagai alas tidur Raina. Hanya kardus lembab dan basah yang di alasi dengan baju Raina. Raina tidur di atas lima potong bajunya, agar tidak kedinginan. 

Kasim pun mencoba mencari baju Raina yang lain. Sayangg, hanya ada satu stel jas hujan tergantung di dinding kamar yang semakin beku.  Kasim tercekak. Tak kuasa lagi membendung air matanya. Suara lirih tangisannya tak kuasa ia sembunyikan. "Rainaaa, maafkan ayah ..."

"Ayah ... "seru Raina dari luar kamarnya.

*bersambung*


Minggu, 13 Januari 2013

Negeri Antah Berantah

Dimanakah negeri antah berantah itu ? Negeri seperti dalam dongeng-dongeng. Negeri dongeng yang segalanya mungkin terjadi. Manusia terbang, hewan-hewan berbicara dengan manusia, keluarga tumbuh-tumbuhan hidup harmonis dan semesta yang bisa berdiskusi dengan bumi. Ahh! aku ingin sekali ke sana.

Sudah lama aku memimpikan bisa terbang sampai ke negeri antah berantah itu. Aku ingin menciptakan segala khayalan di kepalaku terjadi. Aku ingin menjadikan mimpi-mimpi itu nyata adanya, meski hanya dalam dongeng negeri antah berantah.

Aku ingin meramu segala teori semu kuadrat di kepalaku, aku ingin mengaduknya di dalam ruang imajinasiku, satu dengan realita, satu dengan khalayan maka terciptalah teori baru bernama Kenyataan.

Negeriku, negeri antah berantah yang kusimpan di dalam kepala bodohku ini, yang setiap orang kerap mengejekku. Negeri yang selalu membuatku bercakap-cakap sendirian seperti orang kehilangan akal, yang setiap orang menyebutku si gila. Negeri mimpi yang membuatku menjadi nyata.

Tak ketinggalan negeri yang bisa membuat bunga bakung menjadi bernafas. Menciptakan kamu dari akar-akar pepohonan rimbun dengan daun-daun hijau segar berklorofil, supaya bisa meneduhkanku memberikan aku banyak oksigen lebih banyak di saat aku kehilangan nafas. Aku akan memberinya pupuk agar tetap kokoh berdiri menuntunku kelak. Menyiraminya dengan air yang turun dari langit. Ahh! pangeran akarku, belum merambat dan menjalar juga akar-akarmu itu menembus tanah surga yang kita pijak dan menjadi kehidupan kita kelak.

Tiba pada musimnya, bersemilah bunga-bunga yang akan menjadi buah yang ranum, yang sedianya akan dipetik. Kamu akan menghasilkan buah-buah yang sangat manis. Karena akarmu dan campuran ramuanku.

Aku sang juru ramu, kamu pangeran akarku, dan masa depan kita, buah yang tumbuh dari batang pohonmu.

Kelak, akan ada negeri antah berantah itu !! Bukan di dalam istana berlantai marmer atau bertiang emas. Tapi negeri itu ada di sini, di depan mata kita.



^Catherine^


Rabu, 09 Januari 2013

Pengharapan

Tahun baru memang sudah lewat, tapi gak ada kata terlambat membuat Pengharapan di tahun berbuntut kramat ini. Tiga belas atau dua ribu tiga belas.

Orang mungkin sudah banyak membuat harapan-harapan di tahun yang baru beranjak 9 hari ini. Punya kehidupan yang lebih baik, punya masa depan lebih terjamin, sehat, banyak berkat dan sebagainya, tapi aku justru membuat Peng-Harapan baru lagi di tahun ini. Harapan di tahun genap dua ribu dua belas yang lalu, aku kubur sedalam mungkin dan membuat Peng-Harapan baru. Ya, Peng-Harapan hanya di dalam Tuhan.

Bukan sok rohaniah, tapi kalau hanya membuat harapan tanpa pengharapan rasanya kering. Seperti kita haus  ingin meneguk segelas air. Ya, sudah aku putuskan harapan di tahun kemarin dengan berserah -- tapi tetap membangun Peng-Harapan baru, Peng-Harapan yang ada jaminanNya dan tidak sia-sia selama menunggu. Pengharapan di dalam Dia. Bapa yang tak pernah mengecewakanku.

(Mazmur 119:116 -- Topanglah aku sesuai janji-Mu, supaya aku hidup, dan jangan membuat aku malu dalam pengharapanku)

Amin.

^Catherine^