Kasim berjalan pasrah dan lunglai. Disambarnya jas hujan bekas miliknya. Jas hujan ini sudah banyak tambalan, bekas jahitan almarhumah istrinya. Seketika itu pula bayangan Kasim melayang ke 10 tahun yang lalu. Kasim dengan stelan jas hujannya tak kenal rasa lelah berjuang menjadi tukang ojek meski hujan tetap menyirami tubuh kurusnya. Tak hanya itu saja, untuk memenuhi kebutuhan keluarganya Kasim juga mengambil kerja sampingan, menjadi tukang sampah keliling. Setiap subuh, Kasim tak gentar dengan rasa dingin yang kerap menusuk tulang-tulangnya. Kasim giat mengais-ngais sampah di komplek perumahan elit di Ibukota. Mengumpulkan sesuatu yang disebut orang kaya itu sampah, namun bagi Kasim sampah ini adalah penyambung hidupnya bersama keluarga.
Jas hujan merah mengingatkan akan kenangan dirinya bersama Asri, istri tercinta. Kasim ingat betul, awal-awal pernikahannya Kasim juga sering mengantarkan istrinya ke rumah majikan tempat istrinya mencuci-gosok. Dengan jas hujan merah inilah, kenangan Kasim banyak melekat. Entah itu harus kehujanan, kepanasan, jas hujan ini terus setia membalut tubuhnya dan istrinya saat diperlukan.
Sebulir air yang hangat mengalir dari pelupuk matanya. Kali ini bercampur dengan bocoran air hujan. "Terima kasih Gusti, jas hujan ini masih bisa membungkus putri semata wayangku, "jeritnya dalam hati. Kasim pun berjalan keluar kamar. Kasim pun tersentak, melihat putrinya menjerit.
"Ayaaahhh, "jerit Raina ketakutan dari atas meja makan. "Aaayah ituuu, "tunjuk Raina.
"Putri ayah kenapa, "tanya diikuti dengan melihat jemari Raina yang menunjuk ke arah pintu rumah.
Betapa terkejut Kasim melihat air hujan semakin deras masuk ke dalam rumahnya. Baksom-baskom yang tadinya menampung bocoran air hujan harus tergenang, melayang-layang di atas air genangan. Kalau di bukanya pintu rumah, air pasti akan lebih cepat masuk. Air itu cepat masuk ke dalam rumah, karena rumah Kasim memang berada di bawah turunan.
Kasim pun mengambil topi lusuhnya. Dipakaikannya ke Raina. "Putri ayah, pakai jas hujan ini ya nak,"ujar Kasim sambil mematikan listrik. Seketika suasana menjadi gelap gulita.
"Ayahhh, "jeritan Raina semakin kencang.
"Iya nak, ayah di sini, "Kasim menggendong putri kecilnya itu dan membawa keluar melalui jendela dapur di belakang. Kasim mengambil sepeda ontel dan mendudukannya putrinya di boncengan.
"Nak, Raina dan Ayah malam ini tinggal di rumah nenek yah, " ujarnya sambil mendorong sepeda, melewati tanah berlumpur. Kasim tak perduli bahwa sekarang pun dia tidak memakai alas kaki dan penutup kepala.
Sepanjang jalan, Kasim hanya perduli dua hal. Raina, putri satu-satunya dan jas hujan merah yang sekarang dikenakan Raina. Kasim mendorong sepeda ontelnya semakin kuat menerjang hujan dan angin. Sesekali Kasim harus terpleset, karena tanah yang sangat berlumpur dan merendam kakinya.
"Ayahh ... itu ibu ..."Raina menunjuk ke arah pemakaman darurat istrinya. Satu gundukan tanah. Di atas gundukan itu, tertancap nisan nama Asri Asraina bin Dulloh. Wafat 10 Januari 2007. Lahir 4 Agustus 1978. Setiap hari Raina memang sering bermain seharian di sana, sambil menunggu Kasim pulang kerja. Bahkan tak jarang Raina sering tertidur di samping makam ibunya.
"Iya sayang. Ibu sudah tidur nyenyak di sana, " ujar Kasim. Nafasnya menjadi tak beraturan.
"Ayah, ayo kita ajak ibu ke rumah nenek. Nanti ibu bisa kebasahan. Ibu pasti kedinginan,"Raina menarik-narik lengan Kasim.
"Nak, setelah ayah mengantarkanmu pada nenek. Ayah berjanji akan menjemput ibu".
"Janji ayah ? " kata Raina sambil memberikan jari kelingkingnya.
"Janji nakk, "didekapnya Raina sekuat tenaga.
Kasim masih mendorong sepeda di atas tanah tanjakan yang berlumpur. Sampai di jalan sedikit beraspal, Kasim langsung mengayuh kuat sepedanya dan membawa Raina pergi dari tempat yang selama ini menjadi kenangan manis bagi Raina. Namun, tak dapat disangkal, kenangan ini akan segera terbawa arus air hujan dan entah kemana akan bermuara. Dan suatu hari saat Raina sudah besar, Raina harus tau, kenangan masa kecilnya telah pergi hanyut saat dirinya berusia 4,5 tahun.
*bersambung