Selasa, 08 Juli 2014

Stella Tiga dan Aku pun rindu (tiba-tiba)

Stella tiga. Tiba- tiba aku teringat nama jalan ini. Sungguh nama jalan ini begitu istimewa sampai usiaku beranjak dua puluh delapan.

Bukan soal tempat dimana aku bertemu dengannya. Bukan, bukan sama sekali. Aku tidak pernah bertemu dengan siapapun disana. Bukan soal meretas cinta pada pria, tapi merekam cinta pada masa kecil. Masa kecil yang kurindukan bisa kembali. Dan itu menjadi ingatan sepanjang hayatku.

Stella tiga, tempat kakiku mulai belajar berjalan, awal mulai hidungku merasakan nikmatnya karunia Tuhan yang kuhembus saat aku lahir ke dunia. Tempat pertama kali aku merasakan dekapan tangan orang-orang terkasih.

Aku lahir di sini, aku besar di sini, Stella Tiga. Aku belajar menjadi balita, merasakan semua kebahagiaan masa kanak-kanak, tanpa negosiasi.

Bermain gundukan pasir di depan rumah, memanjat pohon mangga kweni dan alpukat, dari sini aku sadar berawal dari situlah hobiku memanjat gunung.

Bermain di rumah pohon nangka yang dibuatkan Almarhum opung dari sisa kawat bangunan, dari atas itu aku senang bermain teriak-teriakan dan tiba-tiba bergelayutan sepeti monyet , dari situlah aku sadar aku senang sesuatu yang spontan dan tidak bisa diam.

Sore hari, air hujan memandikan rumput-rumput dan tanaman di jalan Stella tiga persis di depan rumah Opung, tidak lupa hujan juga turut andil memandikan tanah, pasir dan aspal. Tidak perduli opung yang sudah tua, harus tertatih menarik tanganku untuk tidak bermain di bawah hujan. Hujan begitu membuatku tertarik dengan semesta. Akalku bertanya, langit sama cengengnya denganku, langit suka menangis seperti aku. Dari sana aku tersadar, betapa aku terlalu cengeng. Menangisi segala sesuatu yang sudah lewat, terkadang berteriak tanpa suara, hanya desau nafas seperti angin tersapu hujan.

Belum lagi, hobiku yang membuat aku geli tertawa mengingatnya. Bermain dengan kotoran ayam atau pup ayam yang masih hangat. Karena, opung mempunyai peliharan ayam dan aku rela masuk ke dalam kandang ayam untuk mengambil kotorannya, sampai-sampai perutku yang buncit dipatuk ayam jantan peliharan si opung.

Setiap aku menceritakan cerita tentang masa kecilku yang satu ini, semua orang yang mendengar spontan memandang jijik, dan menutup mulut, setelah itu tertawa terbahak-bahak. Memilin kotoran ayam seperti mainan lilin tanpa rasa jijik, salah satu kenangan yang tidak pernah kulupa. Aku sampai sekarang tersadar betapa kampungannya aku saat itu. Polos, lugu dan ahh memalukan sekali.

Asal kalian tau, bukan aku tidak punya mainan kelas menengah,  Setiap papa atau opung pulang dari luar kota, salah satu isi tasnya adalah mainan, ya mainan mobilan atau buku bergambar. Jangan bertanya kenapa bukan boneka, atau Barbie ya. Tapi semua mainan itu tidak kusentuh, aku lebih tertarik dengan kotoran ayam ini. Kupilin menjadi ular, menjadi kepala, menjadi segitiga, bulat kemudian kulempar ke tembok putih di sebelah garasi rumah opung. Gara-gara hobiku mengotori tembok garasi, opung harus mengecat minimal sebulan sekali.  Dari sini aku tersadar, aku senang membuat sesuatu tanpa batas, berimajinasi yang terlalu kekanak-kanakan.

Oh iya, ada lagi yang membuatku teringat dengan Stella tiga. Di antara semak rumput yang rimbun, aku menangkap belalang coklat, lalu kugoreng bersama teman-teman masa kecil dengan alat memasak mainan. Satu persatu kami mencicipi hasil buruan belalang kami. Renyah seperti keripik. Dan aku baru ingat, dari sini aku makan tidak pernah pilah-pilih, makanya bentuk badanku sekarang tidak bisa dibohongi.

Begitu banyak cerita yang terekam di stella tiga, dan aku ingin sekali menuntaskan dalam tulisan singkatku ini. Bagiku stella tiga tidak sekedar sebuah jalan, tapi sebuah mimpi, sebuah keluarga dan sebuah kehidupan. Ahh aku tidak bisa menunjukan pada kalian (*pembaca.red) betapa aku ingin kembali pulang ke sana. Ke rumah di sebuah sudut kota medan, berpagar merah bata dan sampai rumah itu pun dijual, pagar itu tetap mempertahankan warna merah bata.

Ada lagi cerita tengan kecebong. Kecebong. Iya aku ingat sekali suka menangkap kecebong di selokan depan rumah opung. Mengurung kodok, di dalam ember bekas cucian mobil. Sampai-sampai kodok dan kecebong itu melompat ke wajahku, hampir saja aku dikencinginya.

Dan salah satu kenangan kecilku di stella tiga yang kubawa sampai sekarang adalah hobiku bercakap-cakap sendiri di atas pohon jambu biji. Aku senang bercakap-cakap seperti dua, atau tiga orang. Aku menjadi diriku, sekaligus aku menjadi dua orang lainnya dengan suara berlainan dan bertingkah sesuai peran yang aku mainkan. Ahh, dari sini aku tersadar dan sangat tersadar, kenangan kecilku yang satu itu membawaku kepada pekerjaanku sekarang, dan aku akan melanjutkan kisah ini di tulisan lain.

Dan aku ingat betul, Bou pernah memukulku dengan sapu lidi bila aku tidak tidur siang karena aku selalu bercakap-cakap sendirian di dalam kamar, kadang di bawah tempat tidur sambil memainkan pena opungku, sebagai orang-orangan. Almarhum opung sering kelabakan mencari penanya untuk menulis atau menandatangani surat rekan kerjanya.

Aku ini aneh. Ya sangat aneh. Bukan satu dua orang yang menjudge-ku aneh. Mantan kekasihku pun kerap dibuat pusing dengan tingkah anehku ini. Dia harus banyak bersabar menghadapi kenanehanku. Aku ingat, dia selalu berkata, untuk segera kembali ke bumi, dan jangan terlalu banyak mengkhayal.

Dari kata-katanya suatu saat akan kubuktikan khayalan masa kecilku akan membawaku kepada kebahagiaan sejati. Sampai sekarang aku tidak pernah menyesal menjadi orang aneh. Nafas dari keanehan, dan berjalan dengan keanehan. Karena aku mencintai setiap cita rasa masa kecilku yang aneh.

Aku tumbuh dari nostalgia keanehan di stella tiga. Menyendiri, menari di bawah hujan, memanjat pohon, berguling-gulingan di atas pasir, menangkap kecebong, kodok dan belalang, bermain kotoran ayam, ahh masih banyak lagi dan aku yang sebenarnya ingin menulis semuanya di sini, harus menundanya. Aku tidak ingin saat menulis kenangan itu rasanya menjadi berbeda. Aku ingin tetap menjadi kanak-kanak, aku ingin tetap seakan ada di stella tiga.

Semoga suatu saat aku bisa mampir ke sana, meski Stella tiga itu bukan menjadi bagian keluargaku. Tapi sungguh-sungguh kenangan itu tidak bisa direbut orang lain.

Dan paragraf terakhir tulisanku, aku berjanji akan melanjutkan cerita Stella Tiga, bersama keluarga dan keanehanku yang lainnya.

Terima kasih Stella Tiga, semoga pemiliknya sekarang menjaga kenangan kami di sana, meski sekarang hanya menjadi rumah tua, kenangan itu tetap hidup sampai sekarang. :(

 *sayang aku tidak punya photo rumah itu secara utuh :(

Salam,

Catherine Fr 


Kenangan akan jalan itu menua, seiring usia kami satu persatu yang semakin tua.